🌐 WAG ARN191
Grup Materi HSI Reguler
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A. حَفِظَهُ اللَّهُ تَعَالَى
📗 Silsilah Kitab Nawaqidhul Islam
📖 Halaqah 3 – Pengantar Penjelasan Kitab Nawaqidhul Islam Bagian 3
🔊 Audio, klik disini
════════════════
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللَّهِ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Saudara sekalian, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan pemahaman kepada kita semua.
Halaqah yang ketiga dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidhul Islam yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah Ta’ala.
Di antara kaidah yang disebutkan oleh ‘ulama Ahlus sunnah wal Jama’ah di dalam masalah pembatal keislaman adalah terkadang seseorang mengucapkan ucapan yang kufur atau melakukan amalan yang kufur akan tetapi tidak dihukumi sebagai orang yang kafir, karena di sana ada syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika seseorang dihukumi sebagai orang yang kafir. Di antaranya:
⑴ Baligh
Apabila dia belum baligh, anak kecil misalnya, dia mengatakan Aku adalah Tuhan. Ucapan dia ini adalah ucapan yang kufur dan tidak diragukan dia adalah ucapan yang kufur. Tapi karena yang mengucapkan adalah seorang anak kecil yang belum baligh, maka tidak dihukumi anak kecil tersebut sebagai orang yang keluar dari agama Islam.
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ، وَعَنِ
النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
“Diangkat pena dari tiga golongan: dari anak kecil sampai dia baligh, dan dari orang yang tidur sampai dia bangun, dan dari orang yang gila sampai dia sadar.” (Hadits Riwayat At-Tirmidzi)
⑵ Berakal
Apabila ada seorang muslim yang tidak berakal mengucapkan ucapan yang kufur, maka tidak dianggap kafir, karena dia mengucapkan ucapan tersebut dalam keadaan dia tidak berakal. Orang yang mabuk misalnya, dia mengucapkan ucapan yang kufur, maka tidak dianggap sebagai orang yang kafir.
⑶ Diantara syaratnya seseorang mengucapkan atau melakukan kekufuran, dalam keadaan dia memiliki kehendak sendiri dan bukan sedang dipaksa oleh orang lain.
Terkadang seseorang dipaksa untuk mengucapkan ucapan yang kufur atau melakukan perbuatan yang kufur, padahal hatinya mengingkari. Dia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dia yakin seyakin-yakinnya dengan Islam, tetapi apabila dia tidak mengucapkan kalimat kufur tersebut, dia akan dibunuh atau diancam akan disiksa. Kondisinya dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur. Kalau itu terjadi, maka hal ini tidak mengeluarkan dia dari Islam.
Ucapan dia adalah ucapan yang kufur, akan tetapi tidak dihukumi sebagai orang yang kafir atau musyrik.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِیمَـٰنِهِۦۤ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ
مُطۡمَىِٕنُّۢ بِٱلۡإِیمَـٰنِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلۡكُفۡرِ صَدۡرࣰا
فَعَلَیۡهِمۡ غَضَبࣱ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِیمࣱ
“Barangsiapa yang kufur kepada Allah setelah keimanan dia, kecuali orang yang dipaksa, sedangkan hatinya dalam keadaan tenang dengan keimanan. Akan tetapi, orang yang lapang dengan kekufuran, maka merekalah orang-orang yang mendapatkan kemarahan dari Allah dan merekalah orang-orang yang mendapatkan adzab yang besar.” (Al-Qur’an Surah An-Nahl Ayat 106)
Ayat ini turun ketika ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dipaksa oleh orang-orang musyrikin untuk mengucapkan kalimat kufur, disuruh untuk mencela Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan saat itu beliau dalam keadaan disiksa, sehingga beliau pun terpaksa mengucapkan kalimat kufur padahal di dalam hati, beliau tenang dengan keimanan.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan untukku dari ummatku, kesalahan, lupa, dan apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah)
Dari sini kita mengetahui kehati-hatian ahlus sunnah di dalam masalah Nawaqidhul Islam dan di dalam masalah pengkafiran. Apalagi di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَن قَالَ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, Wahai orang yang kafir, maka sungguh kekafiran ini kembali kepada salah satu diantara keduanya.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Menghukumi bahwasanya si fulan adalah kafir, si fulan adalah musyrik, ini dilakukan oleh para ‘ulama yang ilmunya sudah mendalam, yang terpenuhi pada dirinya syarat-syarat sebagai seorang mujtahid atau seorang mufti yang berfatwa di dalam hukum-hukum agama.
Masuk kita pada pembahasan kitab ini.
Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Bismillahirrahmanirrahim ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ ), dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Beliau memulai kitab ini dengan Basmalah, meniru Allah di dalam Al-Qur’an, karena ayat yang pertama di dalam mushaf adalah Basmalah. Dan yang kedua meneladani Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, karena ketika Beliau menulis surat-surat dakwah kepada Islam, Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam memulai surat-surat tersebut dengan Basmalah. Dan inilah yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman ‘alayhis salam ketika mengirim surat kepada Bilqis. Beliau memulai dengan Basmalah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman menceritakan ucapan Ratu Bilqis:
إِنَّهُۥ مِن سُلَیۡمَـٰنَ وَإِنَّهُۥ بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ
“(Berkata Ratu Bilqis), Ini adalah dari Sulaiman dan isinya Bismillahirrahmanirrahim.” (Al-Qur’an Surah An-Naml Ayat 30)
Yaitu surat Nabi Sulaiman diawali dengan Basmalah.
Memulai dengan Basmalah maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Allah. Karena ba’ ( ب ) di dalam ucapan bismillah ( بِسْمِ اللَّهِ ) adalah ba’ ( ب ) Al-Isti’anah, yaitu huruf ba’ ( ب ) yang maknanya memohon pertolongan.
Bismillah ( بِسْمِ اللَّهِ ) dengan menyebut nama Allah, maksudnya adalah Aku memohon pertolongan kepada Allah dengan menyebut nama-Nya.
Ismullah ( اِسْمُ اللَّهِ ), yaitu nama Allah di sini mencakup seluruh nama Allah. Karena di dalam Bahasa Arab, apabila sebuah kata yang mufrod atau tunggal disandarkan, maka maknanya adalah umum.
Ismu ( اِسْمُ ) atau nama adalah tunggal. Disandarkan kepada lafdzul jalalah yaitu Allah, sehingga maknanya semua nama Allah. Ini seperti kata ( نِعۡمَةَ اللَّهِ ) di dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱذۡكُرُوا۟ نِعۡمَةَ ٱللَّهِ عَلَیۡكُمۡ
“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah nikmat Allah atas kalian.” (Al-Qur’an Surah Al-Ahzab Ayat 9)
Nikmat di sini adalah mufrod atau tunggal, tapi maksudnya adalah sebutlah atau ingatlah nikmat-nikmat Allah atas kalian.
Demikian pula dalam kalimat Basmalah ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ ). Dengan menyebut nama Allah, maksudnya adalah nama-nama Allah. Dan nama-nama Allah yang paling baik maksudnya adalah nama-nama Allah yaitu nama-nama Allah yang paling baik yang Allah sebutkan di dalam firman-Nya:
وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَاۤءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَا
“Dan Allah, Dialah yang memiliki Al-Asma-ul Husna, maka hendaklah kalian berdo’a dengannya.” (Al-Qur’an Surah Al-A’raf Ayat 180)
Allah ( اللَّهُ ) adalah lafdzul jalalah dan Dia adalah nama Allah yang paling besar. Nama-nama Allah yang lain disandarkan pada lafdzul jalalah ( اللَّهُ ).
Seseorang mengatakan Ar-Rahman adalah di antara nama-nama Allah, Ar-Rahim adalah di antara nama-nama Allah, Al-‘Aziz adalah di antara nama-nama Allah. Namun tidak bisa dia mengatakan bahwa Allah adalah di antara nama-nama Ar-Rahman.
Dan lafdzul jalalah ( اللَّهُ ) berasal dari kata Al-Ilaah ( الْإِلٰهُ ), artinya adalah Al-Ma’bud ( الْمَعْبُودُ ) yaitu yang disembah, sehingga makna Allah adalah sesembahan yang berhak disembah.
Ar-Rahman ( الرَّحۡمَـٰنِ ) adalah nama Allah yang maknanya Maha Penyayang. Nama ini mengandung sifat Rahmah atau kasih sayang. Dan nama-nama Allah adalah nama-nama yang memiliki makna, sehingga dinamakan dengan Asma-ul Husna, karena dia mengandung makna yang paling baik. Berbeda dengan nama makhluk. Terkadang seseorang memiliki nama yang baik, namun dia memiliki perangai yang buruk. Namanya Shalih tetapi dia bukan orang yang shalih. Namanya Abdullah, tetapi dia menyekutukan Allah.
Ar-Rahim ( الرَّحِیمِ ) artinya juga Maha Penyayang. Nama ini mengandung sifat Ar-Rahmah. Perbedaan antara Ar-Rahman dan Ar-Rahim, bahwa Ar-Rahman mengandung sifat kasih sayang Allah yang mencakup seluruh makhluk, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Orang yang kafir di dunia juga mendapatkan sebagian dari rahmat Allah, seperti nikmat hidup, nikmat waktu, nikmat sehat, nikmat rezeki, dan lain-lain.
Ar-Rahim mengandung sifat kasih sayang Allah yang Allah khususkan bagi orang-orang yang beriman, seperti hidayah kepada Islam, kenikmatan di dalam alam kubur, kenikmatan di dalam surga, dan lain-lain. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَكَانَ بِٱلۡمُؤۡمِنِینَ رَحِیمࣰا
“Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla sangat sayang kepada orang-orang yang beriman.” (Al-Qur’an Surah Al-Ahzab Ayat 43)
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat, dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
وَبِاللَّهِ التَّوْفِيق وَالْهِدَايَة
In Syaa Allah Berlanjut
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Halaqah sebelumnya, klik disini
Halaqah selanjutnya, klik disini
2 comments
Pingback: Halaqah 2 - Pengantar Penjelasan Kitab Nawaqidhul Islam Bagian 2 | AL-HANIFIYYAH
Pingback: Halaqah 4 - Penjelasan Pembatal Keislaman Pertama Bagian 1 | AL-HANIFIYYAH