Jumat , Juli 11 2025

Halaqah 54 – Beriman Kepada Allah ~ Allah Subhanahu Wa Ta’ala Beristiwa’ Di Atas ‘Arsy Bagian 1

🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A. حَفِظَهُ اللَّهُ تَعَالَى
📗 Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

📖 Halaqah 54 – Beriman Kepada Allah ~ Allah Subhanahu Wa Ta’ala Beristiwa’ Di Atas ‘Arsy Bagian 1
🔊 Audio, klik disini
════════════════

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللَّهِ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.

Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang ditulis oleh fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullāh ta’ala.

Masih kita pada pasal beriman kepada Allāh.

Beliau mengatakan:

وَنُؤْمِنُ بِأَنَّهُ: خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَ

[Al-Qur’an Surah Yunus Ayat 3]

Dan kita Ahlus Sunnah Jama’ah beriman bahwasanya بِأَنَّهُ yaitu Allāh Subhānahu wa Ta’āla

خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ

“Dia-lah Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari.”

ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ

“Kemudian Allāh Subhānahu wa Ta’āla beristiwa’ di atas Arsy”.

Di sini beliau ingin mengajak kita semuanya untuk beriman bahwasanya Allāh beristiwa’ di atas Arsy. Dan ini adalah علو خاص – sifat tinggi yang khusus. Kalau yang sebelumnya beliau sebutkan adalah sifat tinggi yang umum. Di sana ada sifat tinggi yang khusus yang dinamakan dengan sifat Istiwa’.

Istiwa’ memiliki makna di dalam bahasa Arab,

عَلَى وارتفع وصعد واستقر

“Yang meninggi dan menetap.”

Ini adalah makna Istiwa’ di dalam bahasa Arab. Makna عَلَى وارتفع وصعد hampir sama yaitu meninggi dan واستقر kurang lebih maknanya adalah menetap.

Maka beliau mengatakan, “kita beriman dengan ayat ini”. Di antara bentuk iman kita terhadap ayat ini adalah menetapkan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla beristiwa’ di atas Arsy.

Sebagaimana firman Allāh:

ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ

“Kemudian Allāh beristiwa’ di atas Arsy.”

Sekali lagi ini adalah kekhususan atau sifat tinggi yang khusus bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla, bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki sifat Istiwa’ ini. Dan Istiwa’ di dalam bahasa Arab ini ada beberapa penggunaan.

Disebutkan dalam ayat Istawa’ saja tidak memakai huruf setelahnya, ini dinamakan dengan Istiwa’ mutlak.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَٱسْتَوَىٰٓ

Ketika dia sudah sampai dewasa dan وَٱسْتَوَىٰٓ dan juga matang dalam surat Al-Qashash ayat 14, di sini Allāh menceritakan tentang nabi Musa alayhissalam. “Ketika beliau sudah dewasa”, istawa maksudnya di sini adalah sempurna baik badannya maupun akalnya. Sehingga kalau Istawa’ ini tidak memakai huruf setelahnya, maka ini dinamakan dengan Istiwa’ yang mutlak maknanya adalah dewasa atau matang. Berdasarkan ayat ini.

Dan di sana ada istawa yang digunakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan menggunakan huruf على atau إلى setelahnya. Terkadang menggunakan huruf على kalau menggunakan huruf على maka maksudnya adalah beristiwa’ di atas sebagaimana firman Allāh Azza wa Jalla:

فَإِذَا ٱسْتَوَيْتَ أَنتَ وَمَن مَّعَكَ عَلَى ٱلْفُلْكِ

“Apabila kamu sudah beristiwa’ dan juga orang-orang yang bersamamu telah berada di atas kapal.” [Al-Qur’an Surah Mu’minun Ayat 28]

Istawa ala di sini maksudnya sudah beristiwa’, kalau memakai على berarti di atasnya dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

لِتَسْتَوُۥا۟ عَلَىٰ ظُهُورِهِۦ ثُمَّ تَذْكُرُوا۟ نِعْمَةَ رَبِّكُمْ

“Supaya kamu istiwa di atas punggungnya (hewan tunggangan), kemudian kamu ingat nikmat Allāh atas kalian.” [Al-Qur’an Surah Az-Zukhruf Ayat 13]

Maka di sini istawa menggunakan على setelahnya, artinya adalah meninggi. Kemudian di sana ada Istiwa’ setelahnya huruf إلى. Kalau setelahnya adalah huruf إلى maka maksudnya adalah القصد yaitu bermaksud dan di dalam Al-Qurān Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

ثُمَّ ٱسْتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ وَهِيَ دُخَانٌ

“Kemudian Allāh menuju ke atas (kelangit) dan dia adalah asap.” [Al-Qur’an Surah Fushshilat Ayat 11]

Ini kalau Istawa’ setelahnya إلى, maka yang dimaksud adalah Al-Qashdu yaitu bermaksud. Kemudian di sana ada penggunaan istawa setelahnya huruf wawu (و) seperti orang mengatakan:

ٱسْتَوَىٰٓ الماء والخشبه

“Air telah sejajar dengan kayu.”

Maksudnya adalah:

تسوَىٰٓ الماء و الخشبه

“Sudah sama (sejajar) antara air dengan kayu.”

Kita lihat sekarang yang ada di dalam Al-Qurān yaitu yang bagaimana? Seperti di dalam firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ

“Ar-Rahman itu beristiwa’ di atas ‘Arsy.” [Al-Qur’an Surah Thaha Ayat 5]

Di sini Allāh Subhānahu wa Ta’āla menggunakan على sehingga kita mengetahui makna Istiwa’ ini adalah di atas. Berarti maknanya di atas.

Beristiwa’ di atas Arsy maksudnya adalah Allāh meninggi, Allāh berada di atas Arsy, makanya Syaikh mengatakan setelahnya:

واستواؤه على العرش

“Dan Istiwa’nya Allāh di atas Arsy.”

علوه عليه بذاته علوا خاصا يليق بجلاله و عظمته لا يعلم كيفيته إلا هو عزوجل

Istiwa’nya Allāh di atas Arsy itu adalah tingginya Allāh di atas Arsy dengan Dzat-Nya.

Di sini beliau menggunakan kalimat بذاته dengan Dzat-Nya karena ada sebagian yang menetapkan sifat ‘Uluwu bagi Allāh tetapi maknanya saja, bukan Dzat-Nya. Sehingga ketika di katakan بذاته beliau ingin menerangkan kepada kita bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah mereka juga menetapkan tingginya sifat dan tingginya Dzat bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

علوا خاصا يليق بجلاله و عظمته

Ketinggian yang khusus yang sesuai dengan keagungan Allāh dan juga kebesaran-Nya. Bukan berarti kita menyerupakan Allāh dengan makhluk. Tidak!

Di sini beliau mengatakan يليق بجلاله sesuai dengan keagungan Allāh dan juga kebesaran-Nya.

لا يعلم كيفيته إلا هو عزوجل

Tidak mengetahui tentang bagaimana tingginya Allāh kecuali Allāh saja.

Tidak ada yang mengetahui kaifiyahnya bagaimana Allāh meninggi dan bagaimana Allāh beristiwa’ tidak ada keterangannya. Allāh tidak mengabarkan kepada kita tentang bagaimana Allāh beristiwa’, hanya saja Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan kepada kita bahwasanya Allāh beristiwa’ (di situ saja).

Tidak sampai Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan kepada kita tentang bagaimananya, sehingga Ahlus Sunnah wal Jama’ah mereka menetapkan sifat Istiwa’ bagi Allāh sebagaimana datangnya dan kita memahami makna Istiwa’, tidak kita ingkari kemudian kita katakan tidak mengetahui tentang bagaimana Allāh beristiwa’ kecuali Allāh saja.

Tidak sama Istiwa’nya makhluk karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

“Tidak ada yang serupa dengan Allāh dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” [Al-Qur’an Surah Asy-Syura Ayat 11]

Di sana ada ucapan Al-Imam Malik bin Annas, Imam Darul Hijrah ketika beliau ditanya oleh sebagian orang yang datang kepada beliau dan mengatakan,

يا إمام الرّحن على العرش استوى ، كيف استوى

“Wahai Imam, Ar-Rahman adalah beristiwa’ di atas Arsy, bagaimana Allāh beristiwa’ ?”

Setelah beliau menundukkan kepalanya dan berubah wajah dan berkeringat ketika beliau mendengar ucapan ini, yang bertanya tentang bagaimana Allāh beristiwa’.

Maka beliau mengatakan:

الاستواء معلوم، والكيف مجهول، والإيمانُ به واجِب، والسؤالُ عنه بدعة

Istiwa’ itu adalah ma’lum dalam bahasa Arab maknanya jelas.

علا وارتفع و صعد و استقر

Orang yang pernah belajar bahasa Arab (orang Arab dan orang yang telah belajar bahasa Arab dengan baik) maka dia mengetahui maka istawa ini, bukan sesuatu yang tidak diketahui maknanya.

والكيف مجهول

Tapi bagaimananya tidak diketahui yaitu bagaimana Allāh beristiwa’ tidak diketahui. Tidak boleh kita menyerupakan Istiwa’ Allāh dengan makhluk.

Kemudian beliau mengatakan:

والإيمانُ به واجِب

Beriman bahwa Allāh itu beristiwa’ adalah sebuah kewajiban karena sudah diterangkan dan dikabarkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla di dalam Al-Qurān.

Kemudian والسؤالُ عنه بدعة dan bertanya tentang bagaimana Allāh beristiwa’ adalah kebid’ahan. Karena para sahabat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang mereka dikenal dengan semangatnya untuk bertanya di dalam agama, bertanya tentang sesuatu yang penting, tidak ada diantara mereka yang bertanya kepada Nabi tentang bagaimana Allāh beristiwa’ .

Sehingga orang yang bertanya tentang bagaimana Allāh beristiwa’ ini telah membuat atau melakukan sesuatu yang baru dan tidak dicontoh yang demikian.

Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, dan In Syaa Allah kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya pada waktu dan keadaan yang lebih baik.

وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ، وَبِاللَّهِ التَّوْفِيق وَالْهِدَايَة

In Syaa Allah Berlanjut

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Halaqah sebelumnya, klik disini
Halaqah selanjutnya, klik disini

Bagikan Ke

About admin.alhanifiyyah

Assalamu'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh. Ahlan Wa Sahlan Para Pengunjung Rahimakumullah Semoga Bisa Mendapatkan Faedah Dan Berbuah Menjadi Amal Jariyah. Barakallahu Fikum...

Check Also

Halaqah 15 – Menjaga Adab dalam Menuntut Ilmu

🌐 WAG Surabaya MengajiProgram KEBUT (Kelas Kitab Tuntas)≈Kelas Kitab Tuntas Surabaya Mengaji 🎙 Oleh: Ustadz …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses