Senin , April 28 2025

Rukun Iman

Islam sebagai satu-satunya agama yang benar memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, yaitu aqidah dan syari’ah.

Aqidah adalah perkara-perkara agama yang berkaitan dengan keyakinan di dalam hati (bathiniyah), sedangkan syari’ah adalah ibadah-ibadah lahiriyah.

Fondasi terpenting aqidah Islam adalah rukun iman. Rukun adalah sudut penyangga dari sesuatu, apabila rukunnya tersebut tidak ada, maka ia tidak akan bisa tegak. Contoh sederhana rukun-rukun shalat, apabila salah satu rukun tersebut tidak ada, baik karena lupa atau sengaja ditinggalkan, maka shalat tersebut tidak tegak alias batal.

Demikian juga dengan rukun iman yang enam, apabila salah satu rukun tidak ada, maka iman tidak akan tegak. Oleh karena itu keyakinan seseorang terhadap rukun iman harus sempurna.

Makna iman secara bahasa adalah membenarkan. Adapun secara istilah, iman adalah membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan.

Jadi, iman tidak akan sempurna kecuali apabila memiliki tiga aspek, yaitu keyakinan hati, pembenaran oleh lisan dan anggota badan. Sehingga iman bukanlah hanya sekedar klaim dan pengakuan tanpa bukti, Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Iman bukan dengan angan-angan dan berhias, namun iman adalah keyakinan yang tertanam dalam hati, dan dibenarkan oleh amal perbuatan.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah).

PENJELASAN RUKUN IMAN

1. Iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala artinya membenarkan dalam hati bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah dan diberikan ibadah, keyakinan tersebut dibenarkan oleh lisan dengan bersyahadat, dan dibuktikan dengan ibadah kepada-Nya.

Iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak sempurna kecuali dengan mencakup empat hal:

⑴ Iman kepada wujud [adanya] Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Yaitu dengan membenarkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu ada. Meskipun tidak bisa terlihat, namun wujud Allah Subhanahu Wa Ta’ala dapat dibuktikan, baik oleh fitrah, syari’at, akal, ataupun pancaindra.

Iman kepada wujud Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan membuahkan sifat muroqobah, yaitu merasa senantiasa diawasi oleh-Nya, sehingga seseorang yang benar-benar beriman akan senantiasa menjaga hati, lisan, dan anggota badannya, agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridhai-Nya.

⑵ Iman kepada Rububiyyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Rububiyyah adalah segala perbuatan yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan, memiliki dan mengatur alam semesta, memberi rezeki, mendatangkan manfaat, menolak bahaya, dan sebagainya. Iman kepada rububiyyah-Nya adalah meyakini bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Tuhan yang memiliki alam semesta, Maha Berkuasa untuk mengatur makhluk-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.

⑶ Iman kepada Uluhiyyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Yaitu dengan meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak dibadahi dan disembah. Iman kepada uluhiyyah-Nya, akan mendorong seorang mukmin untuk benar-benar mengikhlaskan ibadahnya hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.

⑷ Iman kepada Asma’ [nama-nama] dan Sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang baik lagi mulia.

Yaitu dengan menetapkan nama-nama mulia, sempurna hakikat dan kandungannya hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja, tanpa menyamakan dengan makhluk-Nya, atau mengubah makna dan hakikat dari nama-nama tersebut.

Keimanan ini akan melahirkan sifat cinta yang sempurna kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sifat ihsan dalam beribadah.

2. Iman kepada Malaikat.

Yaitu, membenarkan bahwasanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki makhluk yang bernama malaikat, diciptakan dari cahaya, dan tidak memiliki hak untuk disembah sebagaimana makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang lain. Jumlah makhluk yang senantiasa taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini tidak diketahui kecuali oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Iman kepada Malaikat mencakup iman kepada wujud mereka [bahwasanya mereka ada], nama dan sifat mereka yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, juga mengimani tugas tugas yang mereka emban.

Iman yang benar kepada malaikat akan melahirkan sifat pengakuan akan kebesaran, kekuatan, dan keagungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, membangkitkan rasa syukur kepada-Nya yang telah memelihara manusia dengan memberikan tugas kepada malaikat untuk menjaganya, dan kemaslahatan lainnya.

3. Iman kepada Kitab.

Yaitu membenarkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi dan rasul-Nya untuk membawa rahmat dan memberi petunjuk demi meraih kebahagiaan dunia-akhirat. serta mengimani bahwa Al-Qur’an telah menghapus kitab-kitab sebelumnya.

Iman kepada Kitab mencakup empat hal:

⑴ Kitab-kitab ini benar-benar diturunkan dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

⑵ Mengimani nama-nama kitab yang diberitahukan kepada kita. seperti Al-Qur’an, Taurat, Injil, dan Zabur, adapun kitab yang tidak diketahui nama-namanya, maka wajib diimani secara global.

⑶ Membenarkan seluruh apa yang diberitakan Al-Qur’an, dan berita dari kitab-kitab terdahulu yang tidak diubah atau diganti.

⑷ Mengamalkan isi kandungan dari kitab-kitab tersebut yang tidak diubah atau diganti.

Dengan beriman kepada kitab-kitab Allah Subhanahu Wa Ta’ala kita akan mengetahui besarnya perhatian Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya, sehingga akan membangkitkan rasa syukur kita atas nikmat petunjuk-Nya.

4. Iman kepada rasul-rasul ‘alaihimus salam.

Yaitu membenarkan bahwasanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengutus rasul-Nya kepada setiap umat, yang mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, mereka adalah orang-orang yang benar dan jujur, bertakwa dan amanah.

Oleh karenanya, jika ada umat yang tersesat, maka itu bukan disebabkan oleh tidak adanya rasul, namun karena mereka enggan untuk menerima ajaran para rasul yang diutus.

Meskipun para nabi dan rasul adalah pilihan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, namun mereka tetaplah manusia biasa, yang memiliki sifat manusiawi seperti yang lain. Maka dari itu para nabi dan rasul tidak berhak disembah, namun mereka wajib dihormati dan dimuliakan sesuai derajat yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan.

Beriman kepada rasul mencakup:

• Mengimani kebenaran mereka secara utuh, dengan tidak ingkar kepada salah satu di antara mereka, karena hal itu sama dengan mengingkari seluruhnya.

• Mengimani nama-nama nabi yang telah dijelaskan kepada kita, adapun nabi-nabi yang tidak diketahui namanya, maka wajib diimani secara global.

• Membenarkan berita yang datang dari mereka.

• Mengamalkan syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan rasul yang diutus kepada seluruh manusia.

Iman kepada para rasul akan membangkitkan rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas karunia rasul yang menunjukkan jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menjelaskan bagaimana beribadah kepada-Nya.

Dengan mengetahui hakikat iman kepada rasul, kita akan terdorong untuk mencintai, serta menghormati dan memuliakan mereka. Merekalah yang telah menyampaikan risalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara sempurna.

5. Iman kepada hari akhir

Bagi seorang mukmin, dunia adalah tempat singgah untuk berbekal menuju negeri akhirat yang abadi, oleh karenanya ia yakin bahwa setiap manusia akan meninggalkan dunia yang fana ini. Adapun yang dimaksud dengan iman kepada hari akhir adalah membenarkan setiap perihal yang akan terjadi setelah kematian, sesuai dengan apa yang diberitakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan rasul-Nya.

Peristiwa-peristiwa yang akan dilalui oleh setiap manusia setelah kematian adalah: fitnah [ujian] alam kubur, siksa dan pahalanya, hari kebangkitan, dikumpulkannya semua manusia di padang mahsyar. pembagian buku catatan amal, perhitungan amal, haudh [telaga di surga], melewati shirath [jembatan di atas neraka], qonthoroh [tempat dimana manusia saling menuntut balas terhadap segala kezhaliman dalam hak-hak manusia yang tidak terselesaikan selama di dunia], syafa’at, surga dan neraka.

Apabila kematian adalah pintu peristirahatan dari ujian dan kepenatan dunia, tentu setiap kita sangat menginginkannya, namun ternyata kematian adalah pintu persinggahan pertama menuju akhirat. Apabila Allah Subhanahu Wa Ta’ala memudahkan kita untuk melewatinya, maka tempat-tempat berikutnya akan mudah pula dilewati, tetapi apabila diuji dengan kesusahan di tempat yang pertama itu, maka di tempat-tempat berikutnya akan sengsara dan binasa. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi kita keteguhan saat melewati setiap peristiwa di atas. Aamiin.

Iman kepada hari akhir mencakup 3 hal:

⑴ Iman kepada hari kebangkitan, yaitu hari dihidupkannya orang-orang yang telah mati dan dibangkitkan dari kuburnya untuk menghadap kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

⑵ Iman kepada hari perhitungan amal dan hari pembalasan. Pada hari itu setiap hamba akan dihisab amalnya dan akan dibalas sesuai dengan apa yang telah ia kerjakan di dunia.

⑶ Iman kepada surga dan neraka.

Setiap manusia pasti akan menempati surga atau neraka sebagai tempat tinggal yang abadi.

Surga adalah tempat yang penuh dengan segala macam kenikmatan, disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa lantaran ketaatan mereka kepada perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan rasul-Nya. Sementara neraka adalah tempat penyiksaan yang penuh dengan berbagai macam adzab dan keburukan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyiapkannya untuk orang-orang kafir dan mereka yang ingkar terhadap perintah-Nya, dan bermaksiat kepada rasul-Nya.

Apabila seseorang memiliki iman yang benar kepada hari akhir, ia akan senang untuk selalu mengukir ketaatan dan senantiasa menjaganya dengan mengharap pahala dan balasan di akhirat kelak. Selain itu, ia akan selalu takut untuk berbuat maksiat dan dosa, karena khawatir terkena siksa Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

6. Iman kepada takdir [ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala].

Di saat senang, lapang, sehat, aman, dan serba kecukupan, sebagian manusia berbuat semena-mena, sombong, berfoya-foya, lalai, dan lupa akan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Di saat susah, sempit, sakit, takut, dan serba kekurangan, sebagian manusia berputus asa, bertambah kesedihannya, marah, jengkel, dan pada akhirnya menuduh sang Pencipta bahwa Dia telah menyengsarakannya.

Sikap yang tergambar dari dua keadaan yang berbeda di atas, menunjukkan begitu lemahnya iman kepada takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena apabila seseorang beriman kepada takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan benar, maka ia akan meyakini bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu, Pengatur dan Pemeliharanya, yang menentukan segala takdirnya, baik dan buruknya, manis dan pahitnya, dan Dia jualah yang menciptakan kesesatan dan hidayah, celaka dan bahagia.

Ketika senang dan lapang, seorang mukmin akan bersyukur dengan meningkatkan ibadah dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, begitu juga dalam keadaan susah dan sempit ia akan selalu sabar, berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan optimis dengan kemudahan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala janjikan. Mengapa demikian? Karena imannya kepada takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkannya bahwa:

⑴ Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengetahui segala sesuatu yang terjadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya atau yang terkait dengan perbuatan hamba-Nya, secara menyeluruh dan terperinci. Tiada yang luput dari pengetahuan-Nya.

⑵ Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menulis seluruh apa yang akan terjadi di lauh mahfudz [catatan seluruh takdir yang akan terjadi hingga hari akhir nanti].

⑶ Semua yang ada dan terjadi di alam ini terwujud atas kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada yang dapat menghalangi kehendak-Nya.

⑷ Semua yang ada dan terjadi selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah makhluk ciptaan-Nya, baik zat, sifat, dan gerak-geriknya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menciptakan kemudahan dan kesusahan, kelapangan dan kesempitan, sehat dan sakit. Sudah tentu semua ciptaan-Nya tidak terlepas dari keadilan dan kebijaksanaan-Nya.

Keempat hal di atas adalah rukun iman kepada takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala, apabila salah satunya tidak ada, niscaya keimanannya kepada takdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak sempurna.

Ada benarnya ungkapan “iman itu tidak bisa dijual atau diwariskan”, karena iman bukan sekedar angan-angan dan pengakuan belaka, iman ibarat tunas yang tertanam dalam hati, akan tumbuh besar dan kokoh manakala senantiasa dipupuk dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Sunnah, serta terjaga dan terpelihara dari serangan hama dosa dan maksiat yang bisa merusak, sehingga pohon iman tersebut mampu membuahkan perbuatan dan ucapan yang manis dan indah, bermanfaat bagi makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Apabila kita sangat menjaga harta kita yang paling berharga, maka ketahuilah hanya iman yang paling berharga di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apabila kita bersungguh-sungguh meraih kesempurnaan harta, jabatan, dan kenikmatan di dunia, maka seharusnya kita lebih bersungguh-sungguh meraih kesempurnaan iman, karena iman adalah sumber kenikmatan di dunia dan akhirat.

Mudah-mudahan Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita untuk menjaga dan meningkatkan keimanan, hingga kita ditempatkan bersama orang-orang yang benar imannya.

══════════════════
📢 DOWNLOAD PDF GRATIS
📚 Serial Dasar-Dasar Islam
══════════════════
📕 Serial Aqidah
https://t.me/markaz_inayah/118
📗 Serial Akhlak
https://t.me/markaz_inayah/114
📘 Serial Fiqih
https://t.me/markaz_inayah/121
══════════════════
📌 Bebas Share.

Bagikan Ke

About admin.alhanifiyyah

Assalamu'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh. Ahlan Wa Sahlan Para Pengunjung Rahimakumullah Semoga Bisa Mendapatkan Faedah Dan Berbuah Menjadi Amal Jariyah. Barakallahu Fikum...

Check Also

Halaqah 15 – Menjaga Adab dalam Menuntut Ilmu

🌐 WAG Surabaya MengajiProgram KEBUT (Kelas Kitab Tuntas)≈Kelas Kitab Tuntas Surabaya Mengaji 🎙 Oleh: Ustadz …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses